Kekeringan landa sejumlah wilayah di Nusa Tenggara Barat (NTB) akibat perubahan cuaca ekstrem yang terus berlangsung dalam beberapa pekan terakhir. Dampak dari fenomena ini mulai terasa signifikan pada aktivitas masyarakat, terutama yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan peternakan. Kurangnya curah hujan selama lebih dari satu bulan terakhir memicu penurunan drastis pada ketersediaan air bersih, baik untuk keperluan rumah tangga maupun irigasi. Sejumlah desa melaporkan sumur-sumur mereka mulai mengering, memaksa warga mencari air ke tempat yang lebih jauh. Pemerintah daerah tengah berupaya menanggulangi kondisi ini melalui koordinasi lintas sektor dan pengiriman bantuan air bersih ke titik-titik terdampak terparah. Namun, tantangan logistik dan aksesibilitas membuat distribusi tidak merata. Warga berharap penanganan segera agar kondisi tidak semakin memburuk.
Dampak Kekeringan Terhadap Ketersediaan Air Bersih
Seiring berkurangnya hujan, kebutuhan air bersih mulai menjadi isu utama di beberapa kabupaten NTB. Warga di Kecamatan Woha dan Monta misalnya, harus menempuh jarak lebih dari dua kilometer hanya untuk memperoleh air dari sumber mata air pegunungan. Kondisi ini menyulitkan, terutama bagi anak-anak dan lansia yang turut serta dalam upaya mencari air. Selain itu, penurunan debit air di sungai-sungai kecil memperparah situasi karena masyarakat tidak lagi bisa mengandalkan sumber air lokal.
Dalam kondisi darurat ini, sejumlah organisasi kemanusiaan turut bergerak membantu pemerintah dengan mendistribusikan tangki air ke beberapa desa yang paling terdampak. Meski demikian, jumlah bantuan tidak sebanding dengan kebutuhan yang terus meningkat. Pada saat yang sama, sekolah-sekolah juga mengalami gangguan akibat keterbatasan air, terutama dalam menjaga sanitasi yang layak bagi para siswa.
Tidak hanya itu, rumah sakit di daerah tertentu mulai mengalami krisis air. Ini berdampak pada operasional harian, seperti sterilisasi peralatan medis dan pemeliharaan kebersihan ruangan. Akibatnya, pelayanan kesehatan mengalami keterlambatan dan pasien harus menunggu lebih lama untuk mendapat perawatan. Dalam beberapa kasus, tenaga medis terpaksa membawa air secara manual dari luar fasilitas demi menjaga pelayanan tetap berjalan.
Ancaman Terhadap Ketahanan Pangan Warga
Dampak lainnya yang kini mencuat adalah terganggunya produksi pangan lokal. Petani di beberapa daerah mengaku terpaksa menghentikan aktivitas bertani karena lahan mereka mulai retak-retak dan tidak lagi dapat diolah. Lahan jagung, padi, hingga tanaman hortikultura gagal panen karena tidak memperoleh asupan air yang cukup. Ketergantungan terhadap tadah hujan menjadi masalah utama, sebab tidak semua wilayah memiliki sistem irigasi yang memadai.
Selain pertanian, sektor peternakan juga mengalami kemunduran. Ketersediaan rumput untuk pakan ternak menurun tajam, membuat peternak harus mencari pakan tambahan dengan harga yang semakin mahal. Banyak peternak terpaksa menjual ternak mereka lebih awal untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Kondisi ini berpotensi meningkatkan harga kebutuhan pokok di pasaran dalam beberapa minggu ke depan.
Kementerian Pertanian telah mengirim tim ke lapangan untuk mengidentifikasi potensi kerugian dan memberikan solusi jangka pendek seperti bantuan pakan dan alat penampung air. Namun, tantangan utama tetap pada distribusi yang efisien dan tepat sasaran. Sementara itu, para akademisi dari perguruan tinggi di NTB mulai mendorong inovasi teknologi sederhana yang dapat membantu petani dan peternak bertahan di tengah krisis.
Strategi Penanggulangan Krisis Air oleh Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah tidak tinggal diam. Melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), beberapa strategi tanggap darurat mulai dijalankan. Antara lain penyediaan sumur bor darurat di lokasi prioritas dan pembentukan posko air bersih yang dapat di akses warga dengan mudah. Selain itu, dinas teknis bekerja sama dengan relawan lokal untuk memperbaiki jaringan pipa air yang rusak.
Pendekatan edukatif pun turut dilakukan dengan mengajak warga menghemat penggunaan air dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Beberapa kampanye dilakukan melalui media lokal dan pertemuan warga, memberikan pemahaman tentang pentingnya manajemen air di tengah musim kering berkepanjangan. Hal ini menjadi upaya jangka menengah untuk mengurangi ketergantungan pada bantuan luar.
Meskipun beberapa wilayah sudah mulai menerima bantuan, masalah belum sepenuhnya teratasi. Banyak desa masih menunggu kiriman air bersih dan dukungan lainnya. Koordinasi antar instansi terus di dorong agar penanganan lebih efisien dan tepat waktu. Jika kondisi ini terus berlangsung hingga bulan depan, NTB berpotensi menghadapi situasi darurat yang lebih luas, mencakup krisis pangan, kesehatan, dan sosial.
Potensi Solusi Berbasis Komunitas Lokal
Untuk jangka panjang, sejumlah pakar menyarankan penerapan solusi berbasis komunitas seperti pembangunan embung kecil dan pemanfaatan teknologi penampungan air hujan. Komunitas lokal memiliki potensi besar dalam menjaga ketahanan air jika di berikan edukasi dan alat yang sesuai. Beberapa desa di Lombok Timur mulai mencoba teknik penyimpanan air alami dengan menggunakan material lokal yang murah dan ramah lingkungan.
Dengan pelibatan warga secara aktif, solusi tidak hanya bertahan sementara namun juga memperkuat ketahanan jangka panjang. Pemerintah pusat di harapkan mendukung inisiatif lokal melalui pelatihan dan insentif, sehingga masyarakat bisa lebih mandiri dalam menghadapi perubahan iklim.
Pakar lingkungan menekankan bahwa kekeringan akan menjadi masalah tahunan bila tidak ada kebijakan mitigasi berbasis data dan realitas lokal. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, akademisi, lembaga swadaya, dan masyarakat menjadi kunci dalam menanggulangi krisis semacam ini secara menyeluruh.